Komentar Kritis untuk Dialong Kritis tentang Bipolar (Bagian 2)

Komentar dari 2 Orang Dengan Bipolar (ODB)

Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya. Artikel tersebut juga banyak mendapat komentar, baik komentar langsung di blog maupun di grup facebook.

Kali ini saya akan menampilkan komentar dari dua orang teman bipolar, keduanya perempuan. Mereka menulis komentar di grup facebook “Solusi Bipolar”. Saya suka berbagi dan bertukar pikiran dengan mereka bardua.

Berikut komentarnya :

Cevi :
Saya dulu gak tahu saya bipolar. tapi setelah saya tahu saya bipolar, saya depresi, lalu akhir-akhirnya saya pinter ngomong sama orang kalo saya itu bipolar dan hidup saya rumit, dan orang-orang itu harus mengerti keadaan saya karena saya bipolar. Sementara saya? Saya gak perlu bertoleransi dengan keadaan mereka karena mereka normal dan bukan bipolar. dan mereka ga tahu bagaimana menderitanya saya ditakdirkan hidup sebagai seorang bipolar.

"Enak ya orang-orang bipolar, selalu bisa seenaknya ngomong, lalu teriak-teriak lo gak tahu apa-apa tentang hidup gue! sementara dia bebas ngejudge hidup orang lain seenaknya, padahal dia pun gak tahu apa-apa hidup orang lain itu kayak apa." Itu kata temen saya kepada temen saya yang lain, seorang bipolar yang suka bawa-bawa nama penyakitnya dan teriak-teriak lebay, "You have no idea how cruel the God is,... giving me life with this fuckin bipolar!"

Saya ga bilang ke mereka kalo saya pun bipolar, bukan karena temen saya yang bipolar itu tingkah lakunya menyebalkan, tapi karena saya yakin mereka gak akan percaya kalo saya juga bipolar. Tapi tanggapan mereka itu jadi satu cermin buat saya.

Sementara cermin lain disodorin sama pacar saya. Kalo saya mulai mendramatisir keadaan, dia bakal bilang begini, "Lebay ya lebay, drama ya drama, norak ya norak, gak terima kenyataan ya gak terima kenyataan, lo jangan pake itu topeng bipolar lo buat ngebuat semua pembenaran atas kekonyolan lo ga terima idup lo seperti apa?! lo pikir cuma lo sendiri yang susah?! nooooh keluar sana, liat tuh muka orang-orang capek naik busway di jam pulang kerja!"

Orang bipolar cenderung membesar-besarkan masalah, termasuk masalah kebipolaran mereka. Sebenarnya ya emang ga serumit itu. Boleh nuduh saya sotoy, tapi saya juga bipolar. Saya sudah sangat berpengalaman memperbesarmasalah dan melebaysyalala masalah saya sampe saya cape juga akhirnya main drama.

Sebenarnya saya tahu masalah emang ga sebesar itu, tapi saya yang tidak mampu mengendalikan diri saya dan terus menerus panik hingga akhirnya masalah yang sebenarnya cuma sekecil lubang jarum mungkin bisa-bisanya jadi sedahsyat black hole dalam kepanikan saya.

Tapi saya juga masih dalam proses sih. Bukan proses penyembuhan karena saya sesungguhnya tidak sakit. Bukan pun dalam proses pemulihan karena saya tidak rusak. saya masih dalam proses mengenal diri saya lebih baik, belajar untuk mengendalikan diri. Dan tahun ini, saya pun belajar untuk mempertanggungjawabkan apapun atas nama saya pribadi bukan atas nama apapun yang sebelumnya melabel diri saya. Ya kalo memang lagi lebay ya lebay, saya lebay. Kalo memang lagi sotoy ya, saya sotoy. Tapi itulah saya.

Saya suka sekali sebagian besar tanggapan tuan, nyonya, nona anonim ini. Bagaimanapun tanggapan itu mungkin dinilai sangat ektrem bertentangan dengan tanggapan orang lain kebanyakan.

Oh ya satu lagi. Dulu saya juga nge-judge dokter amat parah. Saya pernah berantem sama dokter dan maki-maki salah satu dokter saya dengan mengata-ngatakannya Freudian Musyrik gak punya iman, ketika saya ngalor ngidul tentang betapa terganggunya jiwa saya dan itu disebabkan oleh ‘warisan-luluhur’ yang saya tolak harus saya ‘warisi’.

Saya diresepkan obat yang waktu itu saya tanya itu obat apa, salah satu dokter bilang itu obat supaya saya tidak lagi berhalusinasi. Mungkin karena lagi manic, saya malah marah-marah dan bilang kalau dokter pun menuduh saya berhalusinasi dan dia tidak percaya dengan apa yang saya ucapkan, sampai saya terbersit menyuruh apapun ‘barang-barang yang mendatangi saya itu pergi datang ke dokter itu dan membuatnya gila.’

Sepakat kan kalo yang lagi parah itu saya?

Nah, saya pun butuh waktu yang cukup lama uuntuk memahami pekerjaan psikiater dan mencoba menempatkan diri saya dalam sudut pandang mereka. Di luar segala politik perdagangan obat yang diungkapkan si entahlah anonim ini, saya belajar untuk menempatkan diri saya sebagai orang yang ga tahu apa-apa dan sewajarnya gak sok tahu terhadap hidup orang lain (toh, karena saya juga gak mau orang pun sok tahu tentang hidup saya).

Dokter melakukan hal-hal yang demikian adalah karena mereka dokter dan begitulah kewajiban profesi mereka. Bila seseorang telah memutuskan untuk datang dan berobat ke dokter, maka dokter akan harus melakukan kewajibannya sebagai dokter—yaitu meresepkan mereka obat-obatan, karena kalau tidak, maka artinya ia bukan dokter, dan saya rasa itu bertentangan dengan kode etik profesi mereka bila seorang pasien datang pada mereka malah dikasih semprotan air bawang putih, ‘ya kan?

Kita pun harus belajar memahami peran masing-masing manusia dalam kehidupan, bukan membuat-buat pembenaran atau mencari-cari kesalahan siapa benar siapa salah, atau siapa yang lebih baik dari siapa.

Setiap keputusan uuntuk menempuh jalan pengobatan masing-masing adalah keputusan masing-masing individu itu berdasarkan kepercayaan terbaik yang datang dan untuk diri mereka sendiri. Kalo memang yang sudah berobat ke dokter dan merasa capek dengan pengobatan tersebut, lalu komplen terus menerus obat ga menyembuhkan? Kenapa mereka ga cari jalan lain yang lebih dapat menenangkan jiwa mereka, bukan malah komplain terus menerus seperti orang bodoh, mencari-cari kesalahan obat seperti orang kurang kerjaan yang marah-marah pada dinding karena ga tahu harus marah pada siapa lagi.

Lalu, kalau yang sudah merasa tenang dengan apapun pilihan penyembuhan mereka di luar jalur pengobatan dokter, kenapa harus merepotkan orang-orang yang lebih memilih mempercayai dokter dalam menangani masalah kejiwaan mereka?

Kita hidup di dunia ini ga bisa seragam. dan karena ketidakseragaman itu timbullah kehidupan. Bayangkan aja kalo semua orang laki-laki siapa yang mau melahirkan? Bayangkan aja kalo bumi ini tanah semua, gimana kita hidup? Setiap apapun dan setiap orang sudah pegang peran masing-masing. Ada air ada api, ada penjahat ada alim ulama, ada tanah ada udara, ada presiden ada rakyat jelata, ada laki-laki ada perempuan, ada dokter ada pasien. Lalupun diantara itu akan ada apapun yang hidup mengantara dan diantaranya.

Kalo sepanjang tahun yang telah berganti kita terus memperdebatkan tentang pengobatan bipolar dan segala polemik yang ada di antaranya, ya kita gak akan bergerak-bergerak melihat masalah yang lebih penting dari sekedar masalah ‘jalan-penyembuhan’ itu.

Oh ayolah, bau taun baru masih segar. Masih belum terciumkah aroma keharusan untuk berubah menjadi lebih baik? :-)

Walaupun ini sharing mungkin overdosis dan bikin pegel buat dibaca, saya pun cuma seseorang yang memainkan peran saya berbagi sudut pandang :-)

Tarjum :
Makasih Cevi untuk urun-rembugnya. Setiap individu memang punya keunikan sendiri. Begitu pula dengan individu-individu yang mengalami bipolar. Seperti Cevi yang setelah pergulatan panjang dengan bipolar, akhirnya mengambil kesimpulan bahwa bipolar bukan penyakit atau gangguan, hingga gak perlu disembuhkan atau dipulihkan.

Saya setuju dengan pernyataan Cevi yang ini “Kita pun harus belajar memahami peran masing-masing manusia dalam kehidupan, bukan membuat-buat pembenaran atau mencari-cari kesalahan siapa benar siapa salah, atau siapa yang lebih baik dari siapa. Setiap keputusan untuk menempuh jalan pengobatan masing-masing adalah keputusan masing-masing individu itu berdasarkan kepercayaan terbaik yang datang dan untuk diri mereka sendiri.”

Jalan penyembuhan atau pemulihan mana yang akan anda pilih? Atau anda merasa tak ada yang harus dipulihkan karena anda tak merasa tertanggu dengan label bipolar? Pilihan sepenuhnya ada di tangan anda.

Jika anda merasa berhasil dengan jalan yang anda tempuh, silakan berbagi dengan yang lain. Terserah meraka, apakah akan mengikuti jalan anda atau memilih jalannya sendiri.

Kita berbeda jalan tapi tak perlu saling menyalahkan apalagi saling menghujat.

Puncak gunung memang hanya satu, tapi jalan untuk mencapai puncak itu banyak, begitu kira-kira. :)


Rika :
Wow obrolan yang cukup 'panas' ya mas Tarjum.

Soal istilah Bipolar, saya sendiri malah merasa lega saat bertahun-tahun cari tahu apa yang salah dengan saya dan akhirnya saya dapat kata Bipolar tersebut. Tapi saya sendiri nggak lantas jadi terikat dengan semua definisi Bipolar karena Bipolar tidak 100% mendefinisikan saya.

Masalah obat, saya bukan konsumen obat psikiatri khusus Bipolar. Intinya, saya nggak minum apa-apa karena memang mungkin belum nemu obat dengan dosis yang cocok (terlalu ngantuk kalo minum obat). Selama ini relapse saya hanya saya tanggulangi dengan sosialisasi dan meditasi. Yah, tapi itu membuat saya bertahan hidup sampai 23 tahun ini.

Tapi ini semua bukan berarti saya menolak pemakaian obat. Itu semua hak masing-masing orang. Kalau memang banyak yang tertolong hidup & masalahnya karena obat ya mengapa tidak. Toh alasan saya tidak konsumsi obat juga selain karena belum ketemu yang cocok, juga karena harga obat mahal banget buat saya.

Mau nggak mau ya 'pasrah' tanpa obat. Walaupun saya akui saya lebih tenang tidak ketergantungan obat karena jika kita ketergantungan kepada sesuatu, pasti kita juga punya ketakutan yang sama besarnya dengan rasa ketergantungan tersebut. Kita akan ketakutan untuk kehilangan sesuatu tersebut.

Yah begitulah kira-kira menurut pandangan saya :)


Tarjum :
Awalnya dialog online itu memang panas, tapi saya berusaha membuatnya menjadi hangat :)

Setiap orang berhak memilih jalan pemulihan yang paling tepat untuk dirinya sendiri. Tak perlu dipermasalahkan antara yang menkomsumsi obat atau tidak. Mereka yang tak mengkonsumsi obat juga kadang bukan karena tak mau tapi bisa juga tak mampu beli karena harga yang mahal atau obatnya tidak cocok seperti kata Rika. Atau ada juga yang tak minum obat karena merasa belum perlu dan masih bisa mengelola suasana hatinya dengan caranya sendiri.

Jalan penyembuhan adalah pilihan masing-masing individu. Mungkin yang harus diperbaiki adalah cara menempuh jalan itu, agar lebih cepat, aman dan nyaman di perjalanan hingga sampai di tujuan.


Apakah anda sependapat dengan komentar di atas atau sebaliknya? Kami tunggu pendapat anda di komentar.

Tarjum adalah pendiri dan editor solusibipolar.com, Curhatkita, Forum Curhat, Grup Facebook Teman Curhat dan Solusi Bipolar. Penulis buku "Mengubah Mimpi Buruk Menjadi Mimpi Indah". Anda bisa kenal lebih dekat dengan Tarjum di sini. Ikuti Tarjum di Facebook, Twitter, Google+ dan LingkedIn.

    





Bookmark and Promote!

3 komentar:

Anonim mengatakan...

wah ... mas tarjum hebat deh... , bukan seorang promotor-pengiklan tapi ente seorang mediator ulung...., gue ga percaya deh masak ada mediator ulung kena Bipolar xixixixixi... :P

Tarjum mengatakan...

Anonim,
He..he..bisa aja! Emangnya penyakit pilih-pilih orang atau orang bisa kebal terhadap penyakit tertentu, ya nggak lah :)

Saya kan tuan rumah. Saya ingin tamu-tamu saya tak saling menyalahkan apalagi menghujat, tapi saling mendukung dan membantu untuk mencari solusi terbaik penanganan bipolar.

Semoga bisa difahami oleh siapa saja, dari kalangan mana saja dan dari golongan mana saja. Berbeda tapi terap satu tujuan :)

Muhammad Ilham mengatakan...

memang gak bisa ngandelin orang lain untuk mengakui dan mengerti tentang masalah mental yang kita derita. mesti belajar bertanggungjawab atas diri sendiri dan ikhlas menerima berbagai pendapat.

Posting Komentar

Silakan sampaikan pendapat anda di komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Ebook "Berdamai Dengan Bipolar"

Bagaimana mengenali dan mengatasi Gangguan Bipolar?
Bagaimana menanggapi sikap negatif orang-orang di sekitar anda?
Jika orang yang anda cintai mengalami Gangguan Bipolar, Apa yang sebaiknya anda lakukan?

Ebook ini memberi jawaban dan solusi alternatif penanganan Bipolar.



Buku "Mengubah Mimpi Buruk Menjadi Mimpi Indah"
Psikomemoar Seorang Bipolar

Buku ini bercerita tentang pergumulan saya selama bertahun-tahun dengan problem psikis yang tidak saya fahami. Yang membuat saya terus bertanya-tanya, “Apa yang terjadi dengan diri saya? Penyakit apa yang saya alami? Bagaimana cara mengatasinya?” Ironisnya, saya justru baru tahu apa yang terjadi dengan diri saya, 8 tahun setelah saya bisa melepaskan diri dari belenggunya.

Buku ini bukan hanya bercerita tentang pengalaman psikologis, tapi tentang perjuangan seorang anak petani untuk mewujudkan impiannya, Mengubah Mimpi Buruk Menjadi Mimpi Indah.

Sinopsisnya silakan baca di sini.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code