Diskusi Online dengan dr. Khairina SpKJ.
Artikel ini dikutif dari diskusi ringan di dinding facebook PUBLIKASI PSIKIATRI INDONESIA (PDSKJI).
Awalnya saya menulis status, sebuah pertanyaan terbuka kepada anggota grup facebook yang sebagian besar anggotanya adalah psikiater ini. Pertanyaan tersebut mendapat jawaban dari salah seorang anggota PDSKJI yang juga psikiater, dr. Khairina SpKJ. Dia memberi jawaban yang cukup lengkap dan jelas.
Berikut diskusi kami, disajikan dalam format tanya jawab dengan sedikit perbaikan bahasa dan isi :
Tarjum:
Sampai saat ini, sudah sejauh mana perkembangan penelitian tentang gangguan bipolar di dalam maupun di luar negeri, baik mengenai penyebab, gejala maupun solusi pengobatannya?
dr. Khairina SpKJ:
Gangguan bipolar ini relatif baru diketahui dibanding gangguan lain pak Tarjum, tetapi para ahli belakangan ini intens pada gangguan bipolar karena jumlah penderitanya cukup banyak.
Saya berasumsi, seperti penyakit lain, derajat keparahannya berbeda-beda, namun pada banyak pasien, kita temui mereka dapat hidup normal bila penyakit ini dikelola dengan baik.
Pada penderita bipolar yang ringan tentunya cukup dengan mengenali diri, mengenali pencetus, menghindari pencetus dan apa-apa yang memberatkan, mengatur dan mengelola stresor sesuai kemampuan, perencanaan yang bertahap, spiritual ditingkatkan (termasuk di dalamnya qonaah = menerima kondisi diri) dan mengembangkan diri secara bertahap, maka bisa jadi gangguan bipolar derajat ringan ini dengan pengelolaan yang baik tersebut, bisa menghadapi kehidupan tanpa terapi psikofarmaka (obat).
Gejala ada pada dua kutub itu. Saat depresi ada gejala-gejala depresi ( diantaranya hilang minat, murung, mudah lelah, malas bersosialisasi, suka menyalahkan diri, merasa masa depan suram dll). Sedang saat mania ada gejala mania (diantaranya ingin beraktivitas terus, sehingga tampak sepertinya kebutuhan tidurnya menurun, ingin belanja-belanja, ingin ngasih-ngasih orang uang atau sebangsa itu, sex drive meningkat, tampak semangat banget, tapi kurang terarah, kurang proporsional dan gejala-gejala lain, dan kalau gejala ini berat, gejala-gejala ini tampak ekstrim).
Mengenai penyebab, semuanya masih dianggap multi faktor, kalau mau melakukan pencegahan, bias dicegah pada sebagian aspek, bisa dengan cara dari memperhatikan kandungan ibu dan janin agar sehat, nutrisi ibu hamil bagus, nutrisi saat balita dan anak-anak bagus, pengasuhan masa kecil bagus termasuk unsure spiritual, dan pendampingan sampai dewasa memadai. Pencegahan ini meskipun tidak seratus persen mencegah, namun sangat mengurangi manifesnya penyakit, meskipun ada bakat.
Sebaiknya anak-anak ODB di konsultasikan ke psikiater dari segi pengenalan diri dan mengetahui bagaimana menghadapi kehidupan, sehingga bakat yang mungkin diturunkan sekitar 15 % tidak manifes.
Tarjum :
Dari multi faktor penyebab bipolar, faktor apa sebenanya yang paling dominan? Sepertinya beberapa penyebab masih dugaan atau dalam penelitian lebih lanjut, benarkah?
dr. Khairina SpKJ:
Selama ini gangguan-gangguan psikiatri selalu multifaktor, faktor konstitusi (herediter=genetik, kerentanan lain dari ibu-ayah di luar herediter, masalah kesehatan saat ibu hamil, misalnya ibu terinveksi virus), faktor pengasuhan dan stressor (lingkungan).
Tampaknya masing-masing yang dominan berbeda-beda, sebagaimana pernah saya sampaikan bahwa sebenarnya organ jiwa itu banyak (yang di ilmu jiwa juga belum mampu menguraikan dengan detail, tapi bisa kita kaitkan dengan tuntunan agama untuk melengkapinya, itu makanya masih ada yang dugaan dan butuh penelitian lebih lanjut).
Organ-organ jiwa ini dikontrol oleh fungsi luhur (ego plus superego), yang organnya itu kasat mata adalah brain, daerah korteks dari brain. Saya mengambil kesimpulan bahwa kondisi ego inilah yang mungkin identik dengan kondisi spiritual seseorang. Sedang super ego adalah nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang. Tempat templatenya ego dan super ego adalah korteks dari brain. Masalahnya pada ODMK, ada gangguan neurotransmiter pada neuron-neuron di korteks tersebut disamping gangguan neurotransmitter pada neuron-neuron selain di korteks brain.
Apakah penjelasan ini bisa dicerna pak Tarjum? Karena ini memang tehnis sekali.
Tarjum:
Sebagian bisa saya fahami, sebagian belum :) Karena kompleknya penyebab dan gangguan berarti pengobatannya pun tak bisa hanya mengandalkan satu metode terapi? saat ini apakah terapi medis bisa mengatasi sebagian besar dari gangguan kejiwaan tersebut?
dr. Khairina SpKJ:
Medis, dalam hal ini psikiatri yang semestinya bekerja holistik, bisa banyak membantu bila rasio tenaga memadai pada pasien ODMK.
Bantuan ini sebenarnya membutuhkan bantuan siapapun yang ingin dan mau terlibat seperti psikolog, dokter umum, semua yang terlibat di bidang okupasi, bidang terapi sosial dan seluruh masyarakat tentunya, asal mereka tahu peran-peran mereka dalam bingkai kerjasama yang baik dan terorganisir.
Dan peran ini pada semua lini belum bisa berjalan dengan baik karena alasan-alasan tertentu pada masing-masingnya. Misal, pada psikiater alasannya di antaranya karena psikiater sedikit.
Bagi yang lain di antaranya, kurangnya kepedulian dan pemahaman terhadap masalah kejiwaan di Indonesia ini, sehingga secara keseluruhan medis dan seluruh jajaran yang mestinya terlibat, belum bisa mengatasi gangguan kejiwaan ini dengan memadai.
Jangan tanya hanya terapi medis saja, karena itu semua kait mengkait, semua lini harus bekerja memperbaiki, masalah kejiwaan adalah masalah kita semua, tidak selesai kalau digarap oleh sebagian bidang saja.
Tarjum:
Selama ini psikiater, psikolog klinis, professional dan aktivits keswa lebih menekankan dan mengarahkan ODMK pada terapi farmakologi. Bisa difahami karena terapi farmakologi memang sampai saat ini masih yang terbaik dan bisa dipertanggung jawabkankan secara medis. Tapi terkesan mengesampingkan terapi alternatif lainnya seperti terapi religi, terapi spiritual, tarapi fisik, hypnoterapi dan yang lainnya. Bagaimana menurut Anda?
dr. Khairina SpKJ:
Itu karena pasiennya banyak dibandingkan tenaga psikiater nya, dan unsur-unsur yang lain (dokter umum, psikolog, semua lini yang bisa terlibat termasuk pemerintah) kurang sekali perhatiannya dibandingkan harapan. Orang itu dimana ada duit, disitu dia mau kok, hipnotis kalau satu jam dibayar 250.000 psikiater juga mau.
Soalnya Pak Tarjum, dokter atau psikiater itu umumnya bisa cari duit dengan berbagai cara, kalau mau dagang juga dia banyak yang mampu. Jadi orang sekarang waktu kan di hitung dengan uang, termasuk psikiater. Kalau dari yang lain dia bisa dapatkan 250 000 perjam, tentu dia gak tertarik hipnotis, yg di indonesia mungkin pengennya (mampunya) dihargai 50.000. Apa kita mau bilang kok tidak pengabdian?
Ada dokter yg senang pengabdian, tapi kan harus juga menyelesaikan urusan hidup minimalnya, dan kebanyakan psikiater juga produk rakyat Indonesia yang agak-agak hedonis. Jadi kalau ingin ada perbaikan, ya harus menyeluruh, seluruh lini bangsa ini.
Jadi intinya, semua perlu ditingkatkan secara perlahan, karena nyatanya terbukti pasien kan seneng sama psikiaternya, kecuali masalah pembayaran yang kadang-kadang keberatan.
Oleh karena itu kalau rakyat lebih sejahtera dan mau membayar dengan lebih proporsional, insyaallah, banyak yang mau ngerjain terapi-terapi lain di samping pemberian psikofarmaka, tapi proporsional ya.
Terapi spiritual selalu dilakukan psikiater, karena dari agama apa ke agama apa, bisa melakukan terapi spiritual. Spiritual itu, bisa diambil dari membaca fenomena alam, sehingga semua mampu melakukannya Tinggal sedikit-sedikit ada psikiater yang lebih handal dan ada yang sedikit kurang, namun secara umum memadailah.
Untuk terapi religi, ini yang masih sulit, disini perlu psikiater yang belajar agamanya dan pemuka agama perlu belajar kursus tentang ilmu psikiatri, supaya dalam mengayomi penderita dilakukan secara bersama-sama dan penderita tidak bingung. Untuk yang ini antara penderita dan terapis perlu menganut agama yang sama.
Belum banyak yang bisa saya jadikan referensi untuk kaitan mind, mental, religi dan hubungannya dengan kondisi brain, masih banyak teori yang mungkin kurang sama. Tapi tampaknya sekarang mulai banyak kajian yang mirip-mirip dengan apa yang saya utarakan di atas, meski cara penyampaiannya berbeda, misalnya dari NLP, ESQ, ilmu psikiatri sendiri dan ilmu agama.
Tarjum:
Terima kasih dr. Khairina, atas kesediaanya berbagi ilmu dan pemahaman tentang psikiatri.
dr. Khairina SpKJ:
Ok, Pak Tarjum, sama-sama terimakasih.
Tentang dr Khairina SpKJ
dr Khairina SpKJ, bekerja di bagian psikiatri RSUD Dr Soetomo Surabaya. Email : kheri2005@yahoo.co.id.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan sampaikan pendapat anda di komentar.